Dalam lanskap digital kontemporer, fenomena berita viral telah muncul sebagai kekuatan penting, yang membentuk persepsi dan mempengaruhi wacana publik dalam skala global.
Dimana penyebaran berita viral dapat dikaitkan dengan berbagai mekanisme, yang paling menonjol adalah peran platform media sosial sebagai katalisator penyebaran informasi.
Menurut Harrell (2025), media sosial tidak hanya memfasilitasi mobilisasi individu di sekitar isu sosial dan politik yang mendesak, tetapi juga telah mengubah cara berita dikonsumsi dan dibagikan.
Maka dengan algoritme yang mengatur platform itu sering kali memprioritaskan konten berdasarkan metrik keterlibatan, seperti suka, bagikan, dan komentar, yang mengarah pada penyebaran berita yang sensasional atau memecah belah.
Misalnya, sebuah studi yang dilakukan oleh Zhuang (2023) yang menyoroti bahwa konten yang dibuat pengguna (UGC) secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas argumen yang disajikan dan keandalan sumbernya.
Hal itu menciptakan lingkaran umpan balik di mana cerita sensasional menarik lebih banyak perhatian, yang pada gilirannya mendorong algoritme untuk lebih memperkuat konten tersebut, yang menghasilkan efek berjenjang dapat menyebabkan penyebaran informasi secara luas yang mungkin kurang akurat secara faktual.
Dengan begitu, kombinasi prioritas yang digerakkan oleh algoritma dan keterlibatan pengguna menciptakan lahan yang subur bagi berita viral untuk berkembang, yang sering kali melampaui standar jurnalistik tradisional dalam hal verifikasi dan pengecekan fakta.
Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Penyebaran Berita Viral
Selain mekanisme struktural penyebaran berita, faktor psikologis juga ikut memainkan peran penting dalam penyebaran berita viral, khususnya terkait emosi yang ditimbulkan oleh konten tersebut.
Dimana hal itu juga berdasarkan, penelitian oleh Lu (2022) yang menunjukkan bahwa emosi negatif, seperti kemarahan dan ketakutan, lebih mudah dikomunikasikan dan dibagikan di antara pengguna media sosial dibandingkan dengan emosi positif seperti kegembiraan dan kebahagiaan.
Fenomena itu dapat dikaitkan dengan naluri bawaan manusia untuk bereaksi terhadap ancaman dan ketidakadilan, yang sering kali mendorong individu untuk memperkuat berita yang sesuai dengan keadaan emosional mereka.
Contohnya seperti, selama pandemi COVID-19, maraknya berita negatif berkontribusi pada meningkatnya kecemasan dan ketakutan, yang selanjutnya memicu penyebaran informasi tersebut.
Seperti halnya juga, yang dicatat dalam sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2022, jurnalis dan kreator konten sering kali memanfaatkan kecenderungan ini, membuat tajuk berita dan narasi yang memancing respons emosional yang kuat, sehingga meningkatkan kemungkinan untuk dibagikan dan berinteraksi.
Maka dengan keterlibatan emosional itu juga merupakan pedang bermata dua, selain dapat meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kritis, hal ini juga berkontribusi terhadap penyebaran misinformasi dan berita palsu, karena pengguna mungkin lebih mengutamakan resonansi emosional daripada akurasi fakta.
Alhasil, interaksi faktor psikologis dan dinamika media sosial menciptakan lingkungan yang kuat yang mendukung penyebaran berita viral dengan cepat.
Konsekuensi Berita Viral Terhadap Masyarakat
Disamping itu, konsekuensi dari berita viral juga melampaui sekadar penyebaran informasi, hal ini juga berdampak signifikan pada nilai-nilai masyarakat dan opini publik.
Seperti yang dicatat oleh Ali Adeeb (2023), penyebaran berita viral, terutama jika berakar pada misinformasi atau narasi palsu, dapat mendistorsi pemahaman publik tentang isu-isu kritis.
Dimana berita viral seperti yang ditemui pada https://ferdelji.com/ memiliki kekuatan untuk mendefinisikan ulang kebenaran, menantang keyakinan yang sudah mapan, dan mengubah persepsi realitas.
Lebih jauh lagi, penelitian ekstensif Olan (2024) juga menekankan bahwa pengaruh berita palsu semakin membentuk kembali norma-norma masyarakat, yang mengarah pada pergeseran nilai-nilai seputar kepercayaan, otoritas, dan proses pengambilan keputusan kolektif.